Menyoal tentang kebudayaan, banyak kalangan yang mendefinisikan beragam pengertian mengenai kebudayaan tersebut. Beberapa dari mereka menganggap kebudayaan sebagai hasil dan bentuk dari perilaku sosial, sehingga kebudayaan berkaitan erat dengan kepribadian. Hal ini didasarkan pada pendapat bahwa kepribadian akan mewujudkan perilaku manusia. Adapun perilaku manusia dapat dibedakan dengan kepribadiaannya, oleh karena kepribadian merupakan latar belakang perilaku yang muncul dari dalam diri seorang individu. Sementara bagi kalangan lain, kebudayaan bukanlah perilaku melainkan abstraksi dari perilaku. Sebagian lagi berpendapat bahwa kapak, batu, candi, dan tembikar sebagai kebudayaan. Namun pendapat lainnya menganggap bahwa benda tersebut bukan sebagai kebudayaan, melainkan hasil dari kebudayaan.
Dalam pengertian sehari-hari, istilah kebudayaan sering diartikan sama dengan kesenian. Akan tetapi apabila istilah kebudayaan diartikan menurut ilmu-ilmu sosial, maka kesenian merupakan salah satu bagian dari kebudayaan saja.
Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi, sosiolog, merumuskan kebudayaan sebagai “semua hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat”. Karya, menghasilkan tekhnologi dan kebudayaan kebendaan (material culture) yang dapat diberdayakan untuk keperluan masyarakat. Rasa, meliputi jiwa manusia, mewujudkan segala kaidah-kaidah dan nilai kemasyarakatan yang perlu untuk mengatur masalah-masalah kemasyarakatan dalam arti yang luas. Misalnya agama, ideologi, kebatinan, kesenian dan semua unsur yang merupakan hasil ekspresi dari jiwa manusia yang hidup dalam masyarakat. Selanjutnya, cipta merupakan kemampuan mental, kemampuan berfikir dari orang-orang yang hidup bermasyarakat yang menghasilkan filsafat serta ilmu pengetahuan, baik yang berwujud teori murni, maupun yang telah disusun untuk langsung diamalkan dalam kehidupan bermasyarakat.
Dalam buku Kritik Seni, Nooryan Bahari menyebutkan bahwa meskipun kebudayaan sangat bervariasi, namun ada suatu upaya merumuskan kembali konsep kebudayaan yang dilakukan oleh A.L Kroeber dan C. Kluckhohn dalam Culture: A Critical Review of Cconcept and Definition (1952), dimana dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan kebudayaan adalah keseluruhan pola tingkah laku dan pola bertingkah laku, baik secara eksplisit maupun implisit yang diperoleh dan diturunkan melalui simbol, yang akhirnya mampu membentuk sesuatu yang khas dari kelompok manusia, termasuk perwujudannya dalam benda materi.
Berdasarkan beberapa pendapat mengenai kebudayaan diatas, dapat dikatakan bahwa kebudayaan merupakan milik dari setiap masyarakat, baik oleh suatu bangsa ataupun ras tertentu. Namun yang menjadi pembeda adalah kebudayaan-kebudayaan tersebut muncul berdasarkan kesepakatan yang akhirnya antara satu dengan lainnya menjadi berbeda. Pun demikian dengan Indonesia.
Indonesia sebagai negara yang sangat panjang jalan sejarahnya tentu saja memiliki budaya luhur yang menginginkan terwujudnya kesejahteraan bangsa yang sarat dengan sopan santun serta budaya-budaya ketimuran. Sebagai negara yang berbudaya, Indonesia, dari Sabang sampai Merauke memiliki beragam kebudayaan yang kaya dan variatif namun tetap dirangkum berdasarkan norma-norma ketimuran yang berjalan sepaham dengan ideologi ke-Indonesiaan. Hal inilah yang kemudian patut untuk dijaga dan dilestarikan agar akhirnya tidak melebur bersama modernisasi.
Modernisasi sendiri kerap kali cukup ekstrim menghantam budaya lokal yang lekat dengan tradisi dan kearifan lokal. Modernisasi mau tak mau memporak-porandakan tradisi yang dibangun oleh nenek moyang yang dijadikan warisan untuk kehidupan anak cucu masa depan. Tentu saja ini tantangan anak masa kini yang cukup dilematis antara mempertahankan tradisi keaslian budaya atau mengikuti perkembangan zaman yang cenderung memaksa manusia untuk mengikutinya, termasuk memaksa manusia-manusia untuk melupakan tradisinya.
Melupakan tradisi dan bahkan meninggalkan tradisi merupakan retorika pedas yang digunakan untuk menggambarkan bagaimana kebudayaan tersebut dari waktu kewaktu mulai tergerus. Hal lainnya yang sangat disayangkan adalah maraknya penjarahan budaya oleh bangsa lain, yang dengan gamblang mengklaim kepemilikan atas suatu budaya yang jelas-jelas merupakan milik bangsa kita, Indonesia.
Begitu banyak kebudayaan kita yang hilang, bisa jadi akibat dari pemiliknya (masyarakat Indonesia) tidak lagi menjaga, bahkan Ironisnya tidak mengetahui sejarah bahkan keberadaan budaya tersebut. Sebagai contoh, lagu “Rasa Sayang-sayange” yang diklaim oleh negara tetangga sebagai milik mereka. Belum lagi berakhir masalah lagu, Malaysia pun kembali mengklaim tari “Reog Ponorogo” sebagai warisan kebudayaan mereka yang di tampilkan dalam bentuk tarian “Barongan”. Tidak hanya Malaysia, Jepang pun sebagai negara maju ikut-ikutan mengklaim “Tahu” sebagai makanan produksi yang oleh Jepang disebut Tempeh.
Paparan diatas tidak hanya terbatas pada makna hilangnya kebudayaan ataupun merujuk pada permasalahan pergeseran kebudayaan, namun lebih dari pada itu. “Lentera” sebagai salah satu Unit Kegiatan Mahasiswa yang bergerak dibidang kesenian utamanya Seni Rupa, berusaha membangun dan memunculkan kembali wacana kebudayaan yang seolah tak ada hentinya untuk dibahas. Hal ini kemudian di rangkum dan divisualisasikan melalui pameran “Archipelago” sebagai bentuk ekspresi seni yang menjiwai pameran akbar Lentera di tahun 2012 ini.
Archipelago yang diangkat sebagai nama pameran akbar Lentera ini digeneralisasi kedalam definisi luas. Tidak hanya dibatasi pada penggambaran tentang lautan sebagai penghubung daratan, yang selanjutnya disebut kepulauan, sehingga negara menjadi satu kesatuan yang utuh sebagai tanah air. Namun lebih mengarah kepada beragamnya aspek dan sisi kehidupan yang melebur didalamnya. Keberagaman inilah yang akhirnya menjadi pola pembentuk kebudayaan yang pengekspresiannya tidak dibatasi oleh dimensi apapun. Hal ini menjadi semakin menarik manakala anggota Lentera pun merupakan bagian dari Archipelago yang pemaknaannya mengikuti pola paparan diatas.
Berasal dari beberapa daerah dengan suku berbeda, serta budaya yang berbeda merupakan sebuah keunikan yang menunjang untuk pengeksplorasian nilai-nilai kebudayaan yang rujukannya kearah eksekusi hasil ekspresi berkesenian. Melalui pameran ini, diharapkan pula agar penikmat seni dapat memandang lebih luas makna yang ingin disampaikan melalui beragam karya yang dihadirkan ke dalam ruang “Archipelago”. Esensi jangka panjang atas pelaksanaan pameran ini yakni karya-karya yang lahir dari hasil olah pikir bersama tersebut dapat menjadi sebuah sulutan atas terus menyalanya api Lentera.
TOR Pameran Akbar UKM Lentera UMM @2012
oleh Rahmawati Parman